kompas rusak
kompas
Minggu, 09 Januari 2011
mengunjungi budaya B A D U Y
kali ini perjalanan kita ke BADUY.
dan inilah sekilas tentang BADUY,
Mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia.
Pendapat lainnya yang membuktikan orang Baduy manusia tertua setidaknya di Pulau Jawa , berdasarkan bukti-bukti prasejarah dan sejarah, punden berundak Lebak Sibedug di Gunung Halimun 3 km lebih dari Cibeo berusia 2500 SM masa neolitik, memiliki kesamaan simetris dengan peninggalan yang sama dengan piramida di Mesir dan Kuil Mancu Pichu di Peru ribuan tahun silam.
Sedangkan Arca Domas hingga kini masih misterius, terletak disebelah selatan Cikeusik dihulu sungai Ciujung, pegunungan Kendeng. bagian selatan dan dipublikasikan pertamakali oleh Koorders yang datang pada tanggal 5 Juli 1864 (Djoewisno, 1987). Arca domas adalah menhir berukuran besar diatas punden berundak paling atas. Bangunan punden berundak ini juga dilengkapi menhir lainnya. Mereka percaya arca domas adalah lambang Batara Tunggal tempat dimana roh diciptakan dan berkumpul. Selain itu arca domas merupakan pusat bumi dan asal muasal manusia diturunkan ke bumi dan menjadi nenek moyang orang Baduy. Karena itu arca domas merupakan daerah larangan yang tidak boleh dimasuki orang luar (purwitasari, 2000)
Asal-usul orang Baduy tersebut berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal keberadaannya. Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran
dan inilah sekilas ulasan,...
Banten: Hari baru saja terang tanah. Kabut pagi pun belum menghilang dari pandangan. Tapi, di tengah kabut pagi, sekelompok lelaki terlihat menyusuri jalanan pedesaan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, beberapa pekan silam. Mereka tampak jalan beriringan bak barisan tentara yang tengah menuju medan peperangan. Mereka adalah warga Baduy Dalam dari Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, yang akan menemui Bupati Lebak dan Gubernur Banten--disebut Bapak Gede--di Rangkasbitung dan Serang. Seba, begitulah acara yang akan mereka hadiri.
Seba adalah kegiatan rutin warga Baduy sebagai ungkapan tali silaturahmi masyarakat adat terpencil tersebut dengan pemerintah daerah setempat. Acara yang digelar tiap tahun ini juga bisa diartikan sebagai tanda kesetiaan anggota suku yang berjumlah 7.512 jiwa dan tersebar dalam 67 kampung ini pada pemerintahan Republik Indonesia. Tak jelas betul kapan tepatnya tradisi Seba ini bermula. Tapi, warga Baduy meyakini tradisi Seba sudah dilakukan para leluhur sejak mereka ada dan tinggal di sekitar kaki Pegunungan Kendeng. Tak heran, Seba menjadi bagian dari amanah para leluhur yang harus dijalankan.
Warga Baduy yang juga dikenal sebagai orang Kanekes adalah sekelompok masyarakat Sunda yang hidup mengisolir diri di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, wilayah selatan Banten. Atau sekitar 172 kilometer sebelah barat Jakarta atau kira-kira 65 kilometer sebelah selatan ibu kota Provinsi Banten. Mereka adalah bagian dari sisa kejayaan Dinasti Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja (sekitar abad XV sampai XVI Masehi) yang tetap mempertahankan tradisi dan kultur Kerajaan Hindu Padjadjaran. Selama berabad-abad, mereka juga berusaha menolak segala bentuk pengaruh luar, termasuk penggunaan segala bentuk teknologi modern. Sedangkan untuk mempertahankan kemurniannya, mereka membagi diri dalam dua kelompok yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Orang Baduy Dalam dicirikan dengan ikat kepala putih yang tetap memegang teguh tradisi ajaran Sunda Wiwitan sepenuhnya. Sementara Baduy Luar yang dicirikan dengan ikat kepala hitam mempunyai aturan yang lebih longgar. Biasanya, warga Baduy Luar masih bisa menerima produk teknologi modern, meski dalam batas-batas tertentu.
Perbedaan ini bisa dilihat saat mereka akan menuju ke Rangkasbitung untuk mengikuti acara Seba. Warga Baduy Dalam menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Tak heran, waktu yang ditempuh juga cukup lama yakni sembilan jam. Warga Baduy Dalam adalah orang-orang yang dikenal tangguh. Ketentuan adat mengharuskan mereka menolak penggunaan segala bentuk teknologi modern, termasuk kendaraan bermotor. Tidak aneh, mereka setiap berkelana selalu berjalan kaki. Kekuatan mereka berjalan memang mengagumkan. Uniknya, tak ada jamu atau ramuan khusus yang mereka makan untuk mempertahankan stamina. Resepnya, cuma satu yakni beristirahat bila datang saat lelah.
Berbeda dengan orang Baduy Dalam, Baduy Luar sedikit lebih longgar dalam menjalan aturan adat. Mereka boleh naik kendaraan untuk pergi ke suatu tempat. Tak heran, mereka bisa lebih santai mengingat cuma memerlukan waktu dua jam untuk sampai ke Rangkasbitung. Karena itu pula, meski matahari sudah naik sepenggalan rombongan Baduy Luar ini masih berkumpul di rumah Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes yang juga menjabat sebagai jaro atau pemerintahan dalam sistem adat Baduy.
Meski berbeda, baik warga Baduy Dalam maupun Luar yang menempati areal sekitar 5.108 hektare sekaligus desa terluas di Provinsi Banten ini sama-sama masih mempertahankan satu hal yakni kesederhanaan hidup. Tak heran, saat mereka tiba di Rangkasbitung, suasana kontras pun mulai terasa. Mereka seperti masuk ke dalam suatu dunia baru. Kesibukan senja di Rangkasbitung seolah menjadi titik balik dari keheningan dan ketenteraman di lingkungan Baduy. Hiruk pikuk kota, ibarat sihir yang mengusik kemurnian warga Baduy. Keramaian lalu lintas, panggung hiburan, dan hiruk pikuk lainnya kini menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.
Menjelang Seba, biasanya mereka bertebaran di sudut-sudut kota. Dandanan mereka yang khas tampak kontras dengan gaya perkotaan Rangkasbitung. Ayah Samin, kokolot atau sesepuh Baduy Dalam dari Desa Cikeusik, misalnya. Sedikit uang saku dari hasil menjual petai digunakannya untuk menikmati jagung bakar. Lelaki tua itu sendiri tak berani pergi jauh dari pendopo karena khawatir tersesat di kota yang asing baginya ini. Tapi, profilnya yang ramah membuat banyak orang Rangkasbitung mengajaknya bicara dan bertanya tentang kehidupan di Baduy.
Keberadaan mereka di kota juga membuka peluang bagi beberapa orang Baduy Dalam untuk sedikit melanggar pantangan. Juli, warga Baduy Dalam, misalnya. Juli yang sejak berangkat dari Kanekes bercita-cita akan menelepon seseorang kerabat yang dikenalnya di Jakarta. Cita-cita itu tercapai. Juli langsung menelepon kenalannya setibanya di Rangkasbitung. Padahal, telepon adalah salah satu perangkat teknologi yang dilarang digunakan orang Baduy. Tapi, entah karena gagap teknologi atau takut terhadap larangan adat, Juli tampak ragu dan kikuk saat menelepon.
Interaksi dengan kemajuan kota memang sulit dihindari warga Baduy saat melakukan Seba. Meski sebagian besar tampak dingin menyikapi aroma kota, tetap saja mereka terlihat penasaran dan berusaha menikmati hiburan yang disuguhkan. Mereka begitu terpesona menikmati suguhan layar tancap. Entah apa yang terlintas dalam pikiran mereka saat ini. Yang jelas, secara perlahan berbagai pengaruh luar mulai merasuk ke dalam kehidupan mereka.
Menjelang sore, warga Baduy berkumpul di Pendopo Kabupaten sambil menikmati santapan istimewa yang disuguhkan bupati menjelang acara Seba. Sang bupati pun menemui para warganya yang memilih cara hidup berbeda dengan masyarakat lainnya. Biasanya, tiga bulan menjelang acara Seba, warga Baduy melaksanakan Kawalu dan Ngalaksa. Kawalu adalah puasa selama tiga bulan untuk menyucikan diri. Sedangkan Ngalaksa adalah pesta membuat kue sebagai syukuran setelah puasa Kawalu.
Setelah semua itu dilakukan, barulah Seba atau berkunjung ke Bapak Gede bisa dilakukan. Harapannya, agar mereka datang ke Bapak Gede dengan hati suci. Dan kini dengan hati yang bersih inilah mereka datang untuk bersilaturahmi dengan Bapak Gede. Selain ke bupati, Seba juga dilakukan ke Bapak Gede di Serang yaitu Gubernur Banten. Sebagai wujud kesetiaan warga Baduy kepada pemerintah yang sah maka sejumlah hasil bumi diberikan kepada sang gubernur. Sebaliknya sang gubernur juga memberikan sejumlah oleh-oleh seperti garam dan beras.
Tapi, inti Seba kali ini lebih bertumpu pada sebuah misi yang diemban oleh Ayah Mursid. Ayah Mursid adalah anak dari pemimpin spiritual Baduy yang disebut Puun. Ayah Mursid memperoleh tugas dari Puun untuk menanyakan tentang penyerobotan hutan yang kini sering terjadi di wilayah adat Baduy. Ayah Mursid meminta gubernur untuk menghentikan aksi penyerobotan ini dan menghukum para pelakunya.
Terlepas dari itu, kedatangan warga Baduy ini disikapi secara kurang peka oleh Pemerintah Provinsi Banten. Meski maksudnya baik yakni memberi hiburan pada warga Baduy yang datang untuk Seba. Tapi, hiburan yang dipertontonkan justru sangat bertolak belakang dengan moralitas orang Baduy. Misalnya, pertunjukan musik dangdut yang penuh goyangan seronok ini. Tanpa disadari, hal tersebut menggambarkan ketidakpahaman pemerintah daerah terhadap orang Baduy. Inilah cermin dari kesombongan tradisi besar yang tak pernah belajar untuk memahami tradisi-tradisi kecil.
Mengunjungi Budaya Baduy
Kamis 25 februari .
Bojong Gede
Awal perjalanan saya dengan kereta dari
Kampus IPB Dramaga
Disini kami berempat menunggu Isna dan Hadi yang akan bergabung, sesuai perjanjian perjalanan awal untuk mengunjungi Budaya Baduy yang tidak beberapa lama munculah keduanya terus kami melanjutkan perjalanan menjemput Toto, untuk menembus kegelapan malam yang hanya di terangi sinar bulan yang redup, melewati Leuwi Liang,Jasinga, Cipanas yang harusnya belok kanan menuju arah Ciboleger, berhubung saya sendiri lupa arah ahirnya saya menjawab sekenanya ya arahnya menuju La-Tanza
La Tanza
Disini baru kami bertanya mengetuk rumah penduduk yang kebetulan kerabatnya Isna yang keturunan Baduy. Sambil membuka peta perjalanan mulai menghitung lokasi dan arah lalu sepakat diteruskan dengan menyusuri arah dari La-Tanza melewati beberapa desa dan jembatan . Enaknya perjalanan malam karena sepi dan lancer menyusuri pedesaan yang senyap dibuai mimpi malam para penghuninya, sedikit di tingkahi suara gerimis malammembuat jalanan tanah berbatu menjadi licin, kiri kanan kami adalah hutan belantara yang sudah tidak mirip lagi hutan, tentu saja indah dan damai terasa di penghujung jalan , sempat ragu memang setelah sampai di Citorek karena tak satupun orang yang ada untuk dimintai keterangan.
Saya lihat di peta jalanan yang kami lalui bias menembus ke Cikotok yang hanya tinggal beberapa karpak lagi .Perjalanan mengingatkan kami akan arah yang salah setelah mobil yang di kendarai Hadi tidak bias melalui tanjakan yang agak curam berbatu licin , slip dengan kondisi mobil melorot turun yang di kanannya terdapat jurang dalam yang menganga yang sehari sebelumnya ada truk yang slip dan terjerumus ke jurang tersebut. Suasanan semakin mengcekam dan tanjakan tidak bias ditaklukan. Ahirnya Iwa menyarankan untuk istirahat dan balik arah ke perkampungan karena subuh sudah menjelang kami istirahat di mushola untuk menunaikan shalat subuh, dan mendapat keterangan dari masyarakat ternyata Cibeo tinggal satu setengah kilo jalan kami dari tempat kami berpijak saat itu,..namun karena tujuan kami Ciboleger yang berarti harus melewati beberapa desa lagi seperti Bojal-Banyar-Cinyiru Muhara-Kosala-Maja dan
Citorek
Selepas ngopi dan sarapan arem-arem buatan mertuanya Eko tidak lupa foto-foto dengan gaya petualang Citorek kami tinggalkan padahal sebetulnya lagi disini perjalanan untuk ke Baduy kasepuhan Cipta Gelar hanya tinggal beberapa kilo namun tetap itu bukanlah tujuan awal kami, Suasana pagi yang tenang kabut gunung mulai memudar sinar matahari bersinar menghangatkan jiwa yang lusuh yang tidak mendapatkan jatah tidur malam, membuat kami merasa enjoy di perjalanan, terlihat gunung Salote makin menawan dengan puncak yang lancip mirip lukisan anak – anak , sungai yang kelok dengan air yang bening menmbah betah mata memandang karunia dari ciptaan Yang Maha Agung
Cikuning
Entah karena nama sungainya Cikuning atau karena warna jembatannya yang kuning , desa ini disebut Cikuning, semua jembatan yang kami lalui terbuat dari besi yang kokoh namun sebagiannya seperti pembangunan yang setengah hati jembatan hanya beralaskan papan yang diletak begitu saja bayangkan kalau ada kendaraan yang lewat papannya itu loncat-loncat, sehabis jembatan kami mendapati tanjakan yang licin lagi sehingga mobil kembali mengalami slip ban dan kali ini mesin mati total, mobil yang satunya ditarik pake tambang dan di diring beramai-ramai tembus ke atas tanjakan dengan selamat, mobil yang satu sampai di Cibama yang satunya lagi harus nginap di Cikuning .
Cibama
Maksudnya adalah pertigaan Cibama yang satu jalannya aspal mulus satunya lagi batu balai,..batu balai inilah yang harus kami lalui untuk menuju Ciminyak nah loh,..Ciminyak? ya seperti kehilangan arah memang ya ,... Tour di lanjutkan hanya dengan satu mobil saja
Ciminyak
Ternyata pasar dan jalurnya adalah tembusan dari Cipanas ke Rangkas Bitung, ini adalah akses yang sebetulnya ..yang seharusnya kita lalui pada malam kemarin sebelum ke La Tanza,inilah cerita saya melalui foto;
Ciboleger
adalah terminal bis,. Kami memarkirkan kendaraan di sini juga berpungsi sebagai pasar walaupun tidak seperti pasar pada umumnya,. Disini relative lebih sepi sesuai dengan peruntukannya pasar terminal adalah temat mangkalnya para preeman yang mencari makan, kalau boleh saya sarankan jangan mengambil guide disini, lebih baik kita tahu sendiri lokasi yang akan kita lalui demi penghematan hal itu sepertinya harus kita indahkan, karena sekali kita terjerat mereka tidak segan – segan untuk menguras isi kantong kita dengan segala hal-hal yang diadakan. Ini kesan buruk dari lokasi yang sebagian orang menganggap sacral . terlepas dari situ kita sebaiknya membawa orang yang sudah pernah kesana karena kita akan memasuki kawasan hutang yang berbukit bukit,. Dan tentu saja banyak tikungan.
Kadu Ketug
sebelum melangkah lebih dalam kita bias istirahat atau untuk melepas lelah dengan menginap disini, disinilah lurah yang di sebut jaro’ Dainah bersemayam,.mencatat buku tamu yang akan mengunjungi Baduy Dalam. Sepertinya disinipun kita akan di suguhin sikap yang di buat-buat oleh jaro’ supaa terkesan seram,..padahal sedikitpun tidak menyeramkan,..kadang sedikit geli melihat kelakuannya.
Cibeo
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka .Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar).
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung .
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten .Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke
Warna pakaian penduduk Baduy Dalam seragam. Penutup kepala berwarna putih kusam. baju juga demikian, putih kusam. Penutup bawah warna hitam bermotif garis abu-abu, mirip “penutup” pasukan Romawi, yaitu seperti rok sebatas lutut.Mereka hanya mengenal dua warna, hitam putih. Mulai dari anak kecil hingga yang telah uzur.
“Anak kecil umur 5 tahun sudah diajarkan bekerja oleh orang tuanya bekerja di ladang. Selama umur 0-10 diajar mengenai mengenal lingkungannya oleh orang tuanya. Setelah itu barulah Pu’un (ketua adat) membimbing lebih dalam soal kehidupan social kemasyarakat
Di kampung Cibeo dan umumnya Baduy dalam, diberlakukan aturan-aturan adat yang cukup ketat. Larangan bagi orang luar seperti kita ini, akan mudah mengingat seperti larangan orang Bule masuk perkampungan mereka serta dilarang membawa alat elektronik seperti radio, tape,telephon genggam dan kamera. Begitu pula larangan membawa benda-benda seperti pasta gigi, shampoo, sabun yang dapat mencemarkan lingkungan. Nah tuh, kita?.. wah jangan tanya, soal pencemaran bagi orang luar kecil, tapi sudah tingkat pengrusakan yang parah. Parah!!!!
Rumah penduduk Baduy Dalam terbilang unik, antara satu dengan yang lainnya berjarak antara 3 sampai 5 meter. Rumah itu dibangun secara bergotong royong tidak menggunakan paku, semua bahannya terbuat dari bamboo dan kayu. Lantainya dari bamboo yang dibelah. Mereka membangun rumah panggung setinggi antara 50 cm hingga 100cm. Bentuknya sama beratap dari ijuk dan daun siren semua rumah suku Baduy Dalam hanya berpintu satu. Kalau dalam rumah tangga itu terdapat dua kepala keluarga, maka tungkunya ada dua. Karena itulah, iri, dengki tidak ada dalam kehidupan mereka. Gotong royong merupakan budaya yang mereka lakukan sejak turun temurun. Akur
“Sistem pemerintahan” Baduy dalam itu berdasarkan musyawarah mufakat. Tiga Pu’un yang ada yakni Pu’un, Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana selalu mengadakan musyawarah. Ketiga Pu’un ini memiliki fungsi masing-masing, seperti Pu’un Cibeo menangani pertanian, Cikesik Keagamaan, dan Pu’un Cikertawana menangani kesehatan yaitu obat mengobat orang yang sakit. Ketiga Pu’un inilah yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan dalam pemerintahan. Kayak DPR kali ya?..( di Indonesia terkenal sebagai Dewan Perwakilan Rampok )
Dalam pertahanan dan keamanan diserahkan kepada Jaro, demikian pula pemerintahan atas petunjuk dari Pu’un. Pu’un diganti bila telah meninggal dengan jalan musyawarah. Yang diutamakan adalah meminta petunjuk dengan mata bathin, untuk memilih beberapa turunan Pu’un yang layak. Karena mereka berdasarkan agama Sunda Wiwitan percaya pada Gusti Allah, nabi mereka adalah Nabi Adam dan Hawa.
Kehidupan aman dan damai begitu terasa di kampung itu. Jadi pertengkaran atau perselisihan sangat jarang terjadi. Kalau ada yang melanggar akan diberi hukuman, seperti kerja paksa tanpa upah. Kalau pelanggarannya berat, maka akan dikeluarkan dari suku Baduy dalam lalu menetap di Baduy luar. Akibat penerapan hukum itu sangat jarang sekali ada yang melanggar. Keamanan dijaga 24 jam, kalau siang ditugaskan 10 orang lelaki atau lebih untuk menjaga kampung dengan berkeliling (ronda)
Acara pernikahan mirip dalam novel Siti Nurbaya, orang tua akan menikahkan anak-anak mereka bila pria telah berumur 20 tahun dan perempuan antara 15-17 tahun. Tidak pernah terdengar ada yang menolak untuk dinikahkan, karena berjalan secara teratur dan tiga tahap, seperti pengenalan, penentuan dan pernikahan. Mereka tidak mengenal poligami. Kalau anak-anak akan disunat, dilakukan secara massal, sekali dalam
Berbeda dengan dunia luar, system penanggalan mereka agak lain. Mereka tidak mengenal bulan Januari, Pebruari dst.. Bulan mereka tergantung panen padi, bulan pertama pada saat merayakan panen padi di huma (ladang). Jumlah hari dalam setiap bulan adalah 30 hari juga dana bulan mereka sebut seperti bulan Kalima, Kaanam,Kawalu, Sapar dst.. repot khan bagi kita?..
Hebatnya, perekonomian mereka tidak mengenal krisis. Krisis apapun yang melanda Indonesia, seperti krisis BBM, Moneter, krisis moral, pejabat korupsi, pejabat kudeta atau DPR di Senayan bertengkar, kehidupannya mereka norma-normal saja. Tidak kenal “politik” yang ada adalah saling pengertian. Tapi mereka mengenal status ekonomi seseorang dengan kepemilikan padi di leuit (lumbung padi) ayam, kucing dan kain yang tersimpat di langit-langir rumah. Semakin banyak kempemilikan, itu maka mereka disebut orang kaya.
Orang Baduy dalam tidak dilarang bepergian, kendatipun sampai ke
“Saya sudah naik di gedung tinggi” kata Juli (22thn) sambil menunjukkan gambar gedung BNI. Yang diambilnya dari sobekan salah satu majalah yang disimpan rapi di antara lipatan bajunya. “Saya naik di lantai 24 naik tangga, karena saya tidak boleh naik itu pake mesin (maksudnya Lift-Pen)” kenang Juli dengan bangga. Tidak hanya Juli, telah banyak penduduk Baduy Dalam berjalan kaki menuju
Gazebo
Ah begitu seabrek yang bisa diceritakan dari komunitas Baduy. Sayang perjalanan begitu singkat. Malampun larut, rombongan ekspedisi to Baduy terlelap, bagi yang terbiasa dengan dinginnya udara malam cukup nyaman.Tapi, yang tak terbiasa akan membuat tubuh mengigil. Malam bertaburan bintang, suara jangkrit, rombongan mimpi berselimut halimun.
Kendatipun tawa canda dan saling lempar kata, manis, asem, pahit namun suasana kekeluargaan begitu menyentuh.
Keresahan Masyarakat Adat Baduy dan Pemerintahan yang tak Responsif-Analisa pada Kerusakan Hutan Adat Baduy-PendahuluanSatjipto Rahardjo dalam bukunya Biarkan Hukum Mengalir menuliskan bahwa jauh sebelum datangnya era hukum nasional telah ada orde atau tatanan lokal yang selama ratusan tahun telah menunjukan jasa dan kemanfaatannya untuk menciptakan hidup yang teratur. Orde lokal tersebut tidak lain adalah hukum adat yang hingga saat ini masih ada dan ditaati sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).Hukum adat tersebut dijalani dalam kehidupan sehari-hari hingga akhirnya hukum kolonial tiba di Indonesia. Pada awalnya Persoalan utama mengenai hukum di Indonesia adalah terjadinya pencangkokan hukum dari negara asal (Belanda) yang mempunyai nilai yang berbeda dengan negara kita Indonesia. Maka wajar jika ada nilai-nilai yang dirumuskan dalam bentuk norma hukum tertulis yang tidak sesuai dengan nilai yang ada di Indonesia.Perbenturan nilai tersebut sebenarnya bukan hanya dialami di Indonesia, beberapa negara lain juga mengalami hal yang sama, Jepang misalnya. Perbedaan Indonesia dengan Jepang dalam beradaptasi dengan hukum modern adalah kemampuannya dalam menangkap hukum secara luwes, flexible, mengalir bagaikan air. Jepang memberi arah, cara dan jalan yang berbeda dari konsep Barat yang menekankan pada kepastian dan predictableness.Sejalan dengan pemikiran tersebut, Robert Seidman yang menciptakan istilah 'Hukum dari Hukum yang tidak dapat dipindahkan' (The Law of Non-Transferability of Law) menjelaskan bahwa pemindahan hukum dari satu budaya ke budaya lain tidak akan dapat membuat hukum tersebut bekerja, karena hukum tidak dapat berlaku sama sebagaimana hukum itu digunakan di tempat asal.Kritik terhadap 'pencangkokan'/transplantasi hukum sebenarnya juga pernah dilontarkan J. van der Vinne, yang mengemukakan keberatan-keberatan, yang terutama bersandar pada anggapan, bahwa hukum Belanda akan janggal (niet geëigend) jika diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia):"Buat suatu negeri yang mempunyai penduduk berjuta-juta manusia yang bukan beragama nasrani dan penyembah berhala yang mempunyai pelbagai agama serta adat istiadat, sedangkan penduduknya yang beragama Islam amat besar kesetiaannya pada sendi-sendi agamanya serta undang-undang dan adat kebiasaan mereka yang tertulis, sehingga diperlakukannya hukum Belanda akan berarti suatu pelanggaran atas hak-hak, adat istiadat daripada golongan penduduk yang bukan bangsa Eropa, serta suatu pemecahan dari beberapa banyak bangunan-bangunan hukum, undang-undang serta adat-adat yang berlainan satu dengan yang lain berhubung dengan tempat atau daerah ataupun golongan manusia (orang-orang) di Hindia." Pencangkokan (concordantie) hukum Belanda ke Indonesia mengakibatkan termarjinalkannya bentuk-bentuk hukum adat. Pencangkokan hukum tersebut mengesankan bahwa sebelum adanya hukum Belanda, tidak ada hukum di Indonesia (Nederlands-Indie).Van Vollenhoven di masa kolonial menolak pendapat rekan-rekannya sesama ahli hukum yang mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada hukum. Menurutnya mereka yang mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada hukum dikarenakan sudah menggunakan standard atau kacamata yang salah, yaitu kacamata hukum Belanda. Kacamata itu harus diganti dengan kacamata hukum Indonesia dan barulah kehadiran hukum di negeri ini bisa terlihat.Bangsa Indonesia telah berhukum berpuluh-puluh tahun dengan menggunakan hukum yang dilihat van Vollenhoven tersebut. Hukum tersebut adalah tatanan-tatanan lokal beragam yang tersebar di kepulauan Indonesia. Masing-masing berhukum dengan tatanan lokalnya masing-masing yang hingga kini terus bergulir.Meskipun tak sepesat Jepang dalam menyejajarkan hukum, tatanan-tatanan lokal di Indonesia tetap hidup dan semakin bergeliat memberikan solusi disaat hukum warisan kolonial yang mengagungkan kepastian hukum menemui kebuntuan dalam menyelesaikan konflik.Salah satu tatanan lokal yang masih hidup dan terjaga keberlangsungannya terdapat pada masyarakat adat Baduy di Kabupaten Lebak, Banten. Keberadaan masyarakat adat Baduy telah diakui dengan diterbitkannya Perda Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan hak ulayat masyarakat Baduy di wilayah Banten.Baduy memiliki kearifan lokal tersendiri dalam mengelola lingkungan. Sekalipun masyarakat adat Baduy tinggal di tengah perbukitan yang dikelilingi hutan, namun tidak ada kerusakan hutan yang terjadi. Masyarakat adat Baduy dapat hidup harmonis berdampingan dengan lingkungan selama ratusan tahun tanpa merusak hutan padahal mereka memanfaatkan hasil hutan tersebut dalam kesehariannya. Hal tersebut telah berlangsung lama meskipun masyarakat adat Baduy tidak mengenal konsep pembangunan berkelanjutan. Pada konteks ini, kita harus belajar dari masyarakat adat Baduy dalam berinteraksi dengan alam sehingga kelestarian tetap terjaga. Nilai-nilai yang berkaitan dengan alam dan pengelolaan hutan tersebut merupakan pelajaran berharga bagi pengelolaan lingkungan hidup secara nasional.PermasalahanMakalah ini berusaha menjawab rahasia masyarakat hukum adat Baduy dalam mengelola hutan dan cara menyelesaikan konflik yang berakibat pada kerusakan hutan adat Baduy.Pembahasan Deskripsi Masyarakat BaduyMasyarakat Baduy tinggal di Desa Kanekes. Desa kanekes adalah salah satu desa di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Dari Jakarta, jaraknya sekitar 120 kilometer. Dengan kondisi alam yang berbukit-bukit di kawasan Pegunungan Kendeng, desa tersebut berada di ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan laut seluas 5.101,85 hektar, sebagai dataran tinggi yang bergunung dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa merupakan hutan lindung atau Orang Baduy sering menyebutnya hutan tutupan. Pada tahun 1888 Orang Baduy berjumlah 291 orang yang tinggal di 10 kampung, sedangkan tahun berikutnya meningkat menjadi 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs, Meijer, 1891; Pennings,1902), tahun 1928 berjumlah 1.521 orang (Tricht, 1929), kemudian tahun 1966 meningkat lagi menjadi 3.935 orang. Awal tahun 1980 penduduk Desa Kanekes menjadi 4.057 orang, sepuluh tahun kemudian berjumlah 5.600 orang dan tahun 1999 menjadi 7.000-an orang (Kartawinata, 2000). Tentunya, dari keadaan itu menuntut penyediaan lahan untuk permukiman semakin bertambah, dari pelbagai catatan dapat diketahui pertambahan jumlah kampung, seperti pada Tabel Perkembangan Kampung Baduy Tahun 1891 – 2000.Baduy dan Pengelolaan LingkunganMasyarakat hukum adat Baduy dikenal sangat patuh dan taat pada hukum adat Baduy. Ada banyak larangan dalam hukum adat Baduy misalnya tidak boleh difoto, naik kendaraan, memakai alas kaki. Orang Baduy Dalam jika pergi ke Jakarta, Bogor atau Bandung dengan maksud mengunjungi tamu yang pernah datang ke Baduy selalu berjalan tanpa alas kaki. Jika diketahui menggunakan kendaraan, maka ia akan dikenai sanksi adat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam menjadi Baduy Luar—Baduy Luar memiliki aturan yang lebih longgar dan berinteraksi lebih dengan modernisasi. Jika ditanyakan alasan kenapa tidak boleh difoto maka mereka akan menjawab dengan singkat "teu meunang ku adat" (Tidak boleh oleh adat).Masyarakat adat Baduy biasa menggantungkan hidupnya pada alam. Mereka menanam padi huma—padi yang ditanam di tanah kebun, bukan sawah—sebagai makanan pokok mereka. Hasil panenan dikumpulkan di sebuah lumbung padi yang dimiliki tiap kepala keluarga. Masyarakat adat Baduy memanfaatkan alam secukupnya sekadar kebutuhan mereka. Prinsip hidup masyarakat adat Baduy tercermin dari pepatah-petitih adat Baduy :Gunung tak diperkenankan dileburLembah tak diperkenankan dirusakLarangan tak boleh di rubahPanjang tak boleh dipotong Pendek tak boleh disambung (Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung)yang bukan harus ditolak yang jangan harus dilarang yang benar haruslah dibenarkanIsi terpenting dari aturan adat tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harfiah. Di bidang pertanian, bentuk kepatuhan tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Baduy seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Hal tersebutlah yang membuat mereka dapat hidup harmonis dengan alam. Orang Baduy mengambil manfaat alam secukupnya tanpa ada keserakahan di dalamnya. Pengakuan atas Masyarakat AdatMasyarakat adat di Indonesia diakui keberadaannya. Berbagai peraturan dari telah mempertegas eksistensi masyarakat adat. Dalam Undang-undang Dasar 1945, pengakuan tersebut dicantumkan dalam pasal 18B ayat 2 dan 18I ayat 3 sebagai berikut:Pasal 18B ayat (2)Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adapt beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.Pasal 28I ayat (3)Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.UU No 41 tahun 1999 Kehutanan (yang mengalami perubahan dengan adanya Perppu Nomor 1 tahun 2004) juga mengakui hak dari masyarakat hukum adat dalam pasal 67 sebagai berikut :Pasal 67(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakuikeberadaannya berhak :a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehariharimasyarakat adat yang bersangkutan;b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlakudan tidak bertentangan dengan undang-undang; danc. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimanadimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.Selain itu keberadaan hutan adat juga telah diakui oleh undang-undang ini sebagai berikut :Pasal 16. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.Pasal 4(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidakbertentangan dengan kepentingan dengan kepentingan nasionalPasal 37(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan,sesuai dengan fungsinya.(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukansepanjang tidak mengganggu fungsinya.Masyarakat Baduy dan Hutan adat yang wilayahnya telah ditetapkan pemerintah daerah setempat hidup secara harmonis. Tidak ada penebangan kayu secara masif, tidak ada pencemaran air, tidak terjadi 'gundulnya' hutan. Hal tersebut karena kultur masyarakat Baduy yang menyatu dengan alam. Orang Baduy tak pernah mandi dengan menggunakan sabun di sungai-sungai di hutan adat Baduy. Sabun adalah salah satu benda yang masuk dalam aturan "teu meunang ku adat"/tidak boleh oleh adat.Kerusakan Hutan di BaduyKeharmonisan itu kini mulai terusik. Hutan adat mulai dirambah orang luar Baduy, menebang pohon tanpa kearifan. Penyerobotan tanah ulayat masyarakat Baduy semakin sulit dikendalikan. Penyerobotan itu dilakukan warga luar Baduy dengan cara menebang hutan, mengerjakan ladang, dan membiarkan hewan ternak berkeliaran di tanah adat dalam kawasan hutan adat. Warga Baduy telah sering melaporkan persoalan ini ke Pemerintah Provinsi Banten, melakukan sosialisasi pada warga luar Baduy agar tidak menebang pohon di hutan adat bahkan melaporkan persoalan ini ke kepolisian. Jaro Dainah mengaku meski tanah ulayat Baduy itu sudah dilindungi peraturan daerah, pada praktiknya aturan tersebut tidak berjalan akibat lemahnya penegakan hukum oleh aparat.Aparat seharusnya tidak hanya membiarkan persoalan ini berlarut-larut dengan menyerahkannya begitu saja pada pihak yang berkonflik. Aparat penegak hukum juga sedapat mungkin menjadi mediator dalam penyelesaian konflik dan terus melakukan monitoring atas progresifitas perkembangan konflik yang ada. Upaya ini dilakukan untuk menuju sebuah peradilan yang berorientasi pada restorative justice. Masyarakat Baduy telah kelelahan dengan konflik yang tak kunjung usai ini. Jaro Dainah bahkan mulai pesimis apakah keluhannya didengarkan.Pada akhirnya faktor ekonomi menjadi faktor yang paling utama dalam menyumbang kerusakan hutan di Baduy. Kerusakan hutan adat di Baduy tak lepas dari persoalan ekonomi. Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dalam melestarikan lingkungan tidak hanya dalam tataran kebijakan legislatif, tapi juga upaya kuat mendorong penegakan hukumnya dengan tak berpihak pada kekuatan ekonomi. Pihak perusahaan maupun perseorangan juga harus memiliki kesadaran dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kesadaran tersebut dapat dilakukan dengan banyak cara dari penyuluhan hingga penegakan hukum sebagai upaya untuk menghasilkan deterence effect (efek pencegahan).KesimpulanKeharmonisan yang telah berlangsung lama antara masyarakat adat Baduy dan alam akhirnya harus terusik justru karena faktor di luar mereka. Modernisasi mulai menjamah keharmonisan hubungan alam dan manusia. Peraturan seperti Perda yang mengatur masyarakat adat Baduy dengan berbagai ancaman hukuman bagi perusak hutan adat Baduy hanya akan menjadi peraturan yang tidak pernah 'turun ke bumi' menyelesaikan masalah. Peraturan pada akhirnya tinggal peraturan, sebercak tinta yang tersusun dalam kertas putih. Masyarakat Baduy, hingga saat ini masih bertahan dan bersabar dalam menyikapi persoalan perambahan hutan mereka. Kondisi ini sebenarnya menjadi 'bom waktu' jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas. Konflik horizontal pada akhirnya berpotensi terjadi antara masyarakat adat Baduy dengan masyakarat luar Baduy. Duduk bersama antara masyarakat luar Baduy, masyarakat adat Baduy dan pemerintah pada akhirnya mutlak diperlukan untuk menyelesaikan permasalan. Dan makalah ini hanya dapat sekadar membuka kesadaran bahwa mereka memang seharusnya duduk bersama.
Wangsit Siliwangi:"Suatu saat nanti, apabila tengah malam terdengar suara pembawa panji, nah itu adalah tandanya."
Sosok "Satrio Piningit" memang masih misterius. Banyak sudah yang mencoba untuk menemukannya dengan caranya sendiri-sendiri. Alhasil, ada yang yakin telah menemukannya, bahkan juga ada yang mengaku dirinyalah si Satrio Piningit tersebut. Apabila diteliti maka sosok yang telah ditemukan itu masih bisa diragukan apakah memang dia si calon Ratu Adil? Budak Angon atau "Penggembala" sesungguhnya merupakan konsepsi tentang kehidupan dan kemanusiaan. Dalam konteks diri manusia, Budak Angon merupakan konsep tentang penemuan jati diri dan pengendalian diri untuk apa sesungguhnya kita dicipta. Selain jasad kita yang sesungguhnya hanyalah "tunggangan" yang harus ditundukkan, dikendalikan, dan diarahkan melalui proses "penggembalaan", dalam diri kita juga terdapat kumpulan "sasatoan" yang tidak untuk dimatikan melainkan untuk digembalakan sehingga menjadi potensi dan energi positif bagi penemuan misi hidup kita. Dalam konteks kehidupan sesama, Budak Angon menjelaskan suatu upaya dan proses "penertiban", pembangunan kesadaran, serta pengarahan hubungan antarsesama yang dilandasi cinta dan kasih sayang. Suatu tatanan kehidupan yang lebih berkeadilan. Dalam konteks sosok, pribadi-pribadi yang bekerja keras dalam upaya dan proses yang demikianlah disebut Budak Angon. Keragu-raguan yang muncul mendorong untuk menelaah dan mempelajari kembali apa yang telah diungkapkan dalam naskah-naskah leluhur mengenai sosok Satrio Piningit sejati. Salah satu naskah yang biasa kita gunakan sebagai rujukan yaitu Uga Wangsit Siliwangi. Siliwangi dalam Ugo Wangsitnya menyebut si calon Ratu Adil dengan sebutan Bocah Angon atau Pemuda Penggembala. Beberapa hal yang disebutkan dalam Ugo Wangsit Siliwangi mengenai Bocah Angon yaitu :
1. Suara minta tolong. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara para pembawa panji, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné.” Kata “suara minta tolong” sepertinya sama dengan ungkapan Joyoboyo dalam bait 169 yaitu “senang menggoda dan minta secara nista, ketahuilah bahwa itu hanya ujian, jangan dihina, ada keuntungan bagi yang dimintai artinya dilindungi anda sekeluarga“.
Bocah Angon di awal kemunculannya akan beraksi melakukan hal-hal sebagai pertanda kedatangannya. Salah satunya adalah meminta tolong kepada orang di sekitar daerah Gunung Halimun. Tidak jelas mengapa dia minta tolong kepada orang lain, apakah dia dalam kesulitan ataukah keperluan lainnya. Yang pasti bila telah terjadi hal demikian berarti itu pertanda akan kemunculannya.
Sementara dikaitkan dengan Ramalan Joyoboyo paba bait 169 disebutkan bila Bocah Angon tersebut “suka minta secara nista sebagai ujian”. Kalimat tersebut mengindikasikan bahwa minta tolong itu hanya sebatas ujian bagi yang dimintai pertolongan. Ujian apakah itu? belum diketahui ujian apa yang suka dilakukan Bocah Angon pada orang. Sebaiknya kita tunggu saja kejadiannya.
2. Mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala.” Kata terlanjur dilarang ini apa maksudnya? Apakah dilarang dalam mengungkap fakta-fakta, ato dilarang meluruskan sejarah? sepertinya masih butuh penafsiran lagi.
Yang pasti Bocah Angon sepertinya tidak peduli dengan larangan pemimpin. Bahkan bukan hanya tidak peduli dengan larangan tersebut, tetapi lebih dari itu Bocah Angon melawan larangan si pemimpin itu sambil tertawa. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan si pemimpin bila dilawan sambil tertawa. Bisa-bisa Bocah Angon dalam situasi bahaya nih karena kerjanya selalu melawan sang pemimpin pengganti.
Kata banyak yang ditemui sebagian-sebagian karena terlanjur dilarang pemimpin baru, menunjukkan bahwa yang akan ditemukan masyarakat memang hanya sebagian saja. Oleh karena sebagian saja maka yang ditemukan tersebut belumlah lengkap dan tentunya belum sempurna hasilnya. Tetapi tidak bagi Bocah Angon, dia terus saja mencari sambil melawan. Bisa jadi temuan si Bocah Angon ini kelak merupakan temuan yang paling lengkap dan mendekati kebenaran.
3. Dia gembalakan ranting daun kering dan sisa potongan pohon.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”
Bocah Angon memiliki kebiasaan mengumpulkan daun dan ranting. Kata daun dan ranting yang disebutkan Uga Wangsit Siliwangi dalam bahasa asli Sundanya yaitu “Kalakay jeung Tutunggul“. Kalakay merupakan daun lontar yang biasa digunakan oleh orang kita pada jaman dulu kala sebagai lembaran daun untuk menulis. Sementara Tutunggul merupakan ranting pohon yang biasa digunakan orang kita pada jaman dulu kala sebagai pena untuk menulis. Sehingga Kalakay dan Tutunggul bisa diartikan sebagai kertas dan pena.
Si Bocah Angon ini memiliki kegemaran suka menggembalakan kertas dan pena. Dia terus mengumpulkan dan mengumpulkan kedua barang tersebut sebagai gembalaannya. Tidak jelas kenapa dia suka menggembalakan kertas dan pena. Kata mengumpulkan itu berarti kertas dan pena tersebut tidak hanya 1 buah, tetapi jumlahnya banyak dan itu menjadi barang kegemarannya.
Selanjutnya disebutkan “Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian“. Kalimat tersebut bisa berarti bahwa Bocah Angon menggembalakan kertas dan pena untuk menemukan sejarah dan kejadian. Ntah sejarah dan kejadian apa yang dia kumpulkan, tetapi bisa dimengerti bahwa di Nusantara banyak sekali sejarah yang dirubah, mungkin hal tersebut bisa juga terkait dengan pelurusan sejarah kita.
Dia akan terus mengumpulkan sejarah dan kejadian-kejadian penting tentunya untuk menyelesaikan masalah di Nusantara. Wajar saja bila sejarah ditelusuri karena memang untuk menyelesaikan suatu masalah tidak bisa tidak harus mengetahui awal sejarahnya bagaimana bisa terjadi. Dengan kegemarannya menelusuri sejarah dan kejadian yang dituangkan dalam kertas dan pena tersebut kelak masalah di Nusantara akan bisa dibereskan dengan mudah. Semoga.
4. Rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu”. Kata di ujung sungai menunjukkan bahwa rumah Bocah Angon letaknya berada dekat dengan hulu sungai. Siliwangi tidak memberikan gambaran berapa jarak antara rumah dengan sungai tersebut. Bisa jadi hanya beberapa meter dari sungai, tetapi bisa jadi puluhan meter dari sungai.
Siliwangi juga tidak menyebutkan nama dari sungai tersebut sehingga rada menyulitkan untuk menentukan letak sungainya. Di Jawa terdapat banyak sekali sungai membentang dari utara hingga selatan. Dan rata-rata di pinggir sungai terdapat banyak rumah penduduk dan ini tentunya sangat menyulitkan untuk menentukan letak sungainya yang sesuai kata Siliwangi. Namun yang pasti Bocah Angon rumahnya dekat sungai sehingga bila ada yang mengaku dirinya Bocah Angon tetapi rumahnya jauh dari sungai berarti itu tidak sesuai dengan Ugo Wangsit Siliwangi.
Kemudian untuk kata pintunya setinggi batu masih perlu dipertanyakan, apakah atap rumahnya terbuat dari batu? dan juga apakah pintu rumahnya juga terbuat dari batu? kok seperti rumah nenek moyang kita dulu. Bisa jadi demikian tetapi mungkin juga tidak demikian.
Kalimat tersebut bisa dipahami bahwa rumah Bocah Angon tidak hanya 1 lantai, namun bertingkat rumahnya. Hal ini diperkuat dengan ungkapan Joyoboyo dalam bait 161 yaitu “berumah seperti Raden Gatotkaca, berupa rumah merpati susun tiga“. Dari ungkapan Joyoboyo menunjukkanada 3 lantai rumah dari Bocah Angon. Tentunya bukan rumah biasa, bisa jadi rumah tingkat ekonomi menengah atau memang Bocah Angon dari keluarga kaya? belum bisa dipastikan.
Oleh karena untuk membuat suatu rumah yang bertingkat dengan bahan semen untuk lantai 2nya, maka dari bahan semen yang padat otomatis akan membentuk batu yang keras. Sehingga bisa dipahami bila pintu lantai pertama akan setinggi batu (setinggi cor semen lantai 2). Memang kebanyakan rumah orang yang bertingkat pintunya pasti akan setinggi lantai 2, tepat di bawah cor semen yang telah menjadi batu tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa rumah Bocah Angon memang bertingkat yang pintunya setinggi lantai tingkat 2-nya.
5. Tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang”. Kata rimbun oleh pohon Handeuleum dan Hanjuang berarti di depan rumah Bocah Angon terdapat 2 pohon yang sangat subur dan menjadi ciri khas rumahnya. Dalam hal ini hanya disebutkan 2 buah pohon saja, artinya memang hanya ada 2 buah pohon di depan rumahnya sebagai pembeda dari rumah lainnya.
Apabila ditelusuri kedua jenis pohon tersebut dalam istilah bahasa Indonesianya memang belum diketahui apa namanya. Kedua kata tersebut sepertinya bahasa kuno dari daerah Sunda tempat Siliwangi berada. Hingga kini belum ada pihak yang merasa mengetahui kedua jenis pohon tersebut. Bahkan orang-orang asli Sundapun juga mengaku tidak mengetahui kedua jenis pohon itu. Kita tunggu saja kelak akan kita ketahui juga.
Sementara itu beberapa kalangan justru menafsirkan kata Handeuleum dan Hanjuang sebagai simbol saja. Benarkah kedua pohon itu sebenarnya bukan pohon hidup di atas tanah, tetapi sekedar simbol saja? Coba anda lihat kembali Siliwangi menyebut Pemuda Penggembala dengan “Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon.”
Kata pemuda penggembala itu cuma simbol dari Siliwangi. Kemudian simbol tersebut dijelaskan bila yang digembalakan bukan binatang, tetapi daun dan ranting. Sementara kata Handeuleum dan Hanjuang tidak ada kalimat penjelasan selanjutnya. Sehingga kedua kata tersebut dapat dipastikan memang dua buah pohon yang tumbuh di atas tanah. Apabila simbol tentunya Siliwangi akan menjelaskan maksudnya.
6. Pergi bersama pemuda berjanggut. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!” Siapakah pemuda berjanggut itu? Penyebutan pemuda berjanggut ini masih perlu dipertanyakan. Apakah pemuda tersebut merupakan kerabat atau keluarga atau teman ataukah pengasuh si Bocah Angon? Belum jelas diketahui karena memang dalam Ugo Wangsit Siliwangi tidak menyinggung mengenai hal tersebut.
Dalam naskah-naskah lain memberitahukan bahwa Ratu Adil memiliki pengasuh yaitu Sabdo Palon. Mungkinkah pemuda berjanggut tersebut adalah Sabdo Palon? Sepertinya tidak karena Sabdo Palon merupakan sosok Jin, sementara penyebutan kata pemuda menunjukkan dia adalah manusia. Jadi pemuda berjanggut bukanlah Sabdo Palon.
Misteri ini masih sulit untuk diungkap yang sebenarnya. Pada saat Bocah Angon masih menjadi sosok yang misteri, pada saat yang sama pula ada sosok lain yaitu pemuda berjanggut yang jati dirinya juga masih misteri. Namun yang pasti pemuda tersebut memiliki janggut dan kelak akan kita ketahui setelah tiba waktu kemunculan Bocah Angon.
7. Pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!” Bocah Angon sepertinya tidak akan ditemukan sebelum kemunculannya. Ketika orang-orang sudah menemukan rumahnya yang di ujung sungai, dia telah pergi bersama pemuda berjanggut ke Lebak Cawéné.
Siliwangi tidak menyebutkan kemudian orang-orang akan berhasil menemukan Bocah Angon di Lebak Cawéné setelah gagal menemukan di rumahnya. Tidak ada kalimat tersebut dalam Ugo Wangsit Siliwangi. Karena tidak ada kata itu maka bisa disimpulkan bahwa jarak antara rumah dengan Lebak Cawéné tidak dekat bahkan mungkin sangat jauh.
Siliwangi juga tidak menyebutkan setelah pergi ke Lebak Cawéné si Bocah Angon kemudian kembali lagi ke rumahnya. Karena tidak ada kalimat yang menyebutkan hal tersebut berarti Lebak Cawéné merupakan tempat baru yang ditinggali Bocah Angon setelah rumahnya yang di ujung sungai di tinggal pergi. Apabila Bocah Angon kembali lagi ke rumahnya yang di ujung sungai, maka tentunya Siliwangi akan menyebutnya berhasil ditemukan di rumahnya. Sudah pasti bila orang telah menemukan rumahnya maka akan ditunggui kapan kembalinya. Tetapi ternyata tidak ada kalimat tersebut dalam Ugo Wangsit Siliwangi.
Sampai saat ini belum diketahui dimana letak Lebak Cawéné berada. Dalam peta Jawa maupun peta Indonesia, tidak ada daerah yang diberi nama Lebak Cawéné. Oleh karena namanya yang masih asing inilah maka banyak kalangan menafsirkan menurut keyakinannya masing-masing.
Ada yang menafsirkan Lebak Cawéné berada di lereng sebuah gunung. Ada juga yang mengatakan berada di petilasan Joyoboyo. Yang lain mengatakan berada di tempat yang ada guanya dan sebagainya membuat semakin tidak jelas saja letak Lebak Cawéné dimana. Tetapi apabila anda meyakini sebuah tempat merupakan Lebak Cawéné, maka bisa dipastikan anda akan memaksakan kehendak untuk menentukan 1 orang di daerah tersebut sebagai calon Ratu Adil. Wah jadi kasian pada orangnya kena sasaran.
Ketahuilah bahwa Siliwangi tidak menyebutkan Bocah Angon akan berhasil ditemukan di Lebak Cawéné. Di sisi lain Siliwangi juga tidak memberikan ciri-ciri Lebak Cawéné yang dia katakan sehingga mustahil Lebak Cawéné bisa diketahui sebelum Ratu Adil muncul, kecuali anda lebih sakti dari Siliwangi. Kemampuan sama dengan Siliwangi aja tidak mungkin apalagi lebih tinggi dari Siliwangi, jelas tidak mungkin lagi.
8. Gagak berkoar di dahan mati. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati”. Kata Gagak berkoar mungkinkah memang burung Gagak yang suka berkicau, ataukah itu merupakan simbol saja.
Banyak kemungkinan mengenai Gagak berkoar tersebut. Namun dalam naskah-naskah lain seperti yang diungkap Ronggowarsito dan Joyoboyo bahwa Bocah Angon sebelum menjadi Ratu Adil hidupnya menderita, dia sering dihina oleh orang. Apabila dikaitkan dengan hal tersebut maka Gagak berkoar itu bisa juga diartikan sebagai orang-orang yang suka menghina si Bocah Angon.
Oleh karena hidupnya yang selalu saja dihina orang, maka akhirnya Bocah Angonpun pergi meninggalkan rumahnya. Kemudian dia bersama pemuda berjanggut menuju ke Lebak Cawéné untuk membuka lahan baru disana. Semua mencari tumbal bisa saja diartikan sebagai mencari berita dan ketika yang dicari si Bocah Angon sudah tidak ada, maka tidak bisa tidak mencari berita dari para Gagak yang berkoar tersebut.
9. Ratu Adil sejati. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.” Kita disuruh Siliwangi untuk mencari Bocah Angon, karena dialah yang kelak akan menjadi Ratu Adil sejati.
Sepertinya SIliwangi bermaksud memberikan pesan untuk berhati-hati dalam mencari Bocah Angon. Hal ini dikarenakan banyak sekali Bocah Angon palsu akan bermunculan di Jawa ini. Kemunculan Bocah Angon palsu bisa jadi karena dukungan orang lain akan dirinya sehingga dipaksa cocok menjadi Ratu Adil, tetapi juga bisa jadi karena terburu-buru meyakini dirinyalah si Bocah Angon.
Lihatlah saat ini telah banyak terdengar dimana-mana dari Jawa bagian barat hingga Jawa bagian timur, orang-orang yang muncul diyakini sebagai Ratu Adil. Bahkan juga bermunculan dimana-mana orang yang mengakui dirinyalah Ratu Adil tersebut. Apabila dimintai bukti maka orang-orang tersebut akan mencocok-cocokkan diri dengan naskah-naskah yang ada untuk meyakinkan orang. Padahal kenyataan tidak semuanya cocok.
Untuk itulah Siliwangi berpesan agar kita mencari Ratu Adil sejati, karena Ratu Adil sejati hanya satu sementara Ratu Adil palsu banyak sekali. Walaupun banyak Ratu Adil palsu, hal itu tidak akan mengubah kepastian munculnya yang asli. Apabila yang asli telah muncul maka semua akan terbukti mana yang asli dan mana yang palsu sesuai kata Siliwangi “Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.”
Demikianlah beberapa hal mengenai Bocah Angon sesuai yang disebutkan dalam naskah Ugo Wangsit Siliwangi. Siliwangi sengaja tidak begitu jelas menggambarkan si Bocah Angon dalam naskahnya sehingga sangat menyulitkan kita untuk menemukannya. Kesengajaan ini dimengerti karena memang akan banyak pihak-pihak yang tentunya menghalangi kemunculan Ratu Adil dengan berbagai alasannya.
Pada saat Siliwangi tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai Bocah Angon. Di waktu yang sama pula kita disuruh untuk mencari si Bocah Angon tersebut, memangnya kita ini terlahir sebagai detektif semua. Namun yang pasti kelak akan diketahui juga mana Ratu Adil palsu dan mana Ratu Adil yang sejati tentunya setelah tiba waktu kemunculannya. Untuk itu baik ditunggu, dicari maupun tidak sama sekali sepertinya hasilnya tetap sama. Waktunya akan segera tiba.
z o w i e t o w e d
apapun hasilnya,..tetap action
slayrs
apa arti dari "PAKSI-EXTRASS"?
nos morenos
mang didi kapuk
musthafa ibrahim
maman udud
jon oneng
zein zaenal arifin
' me

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tinggalkan kesan dan pesan andi disini;