Sabtu, 23 April 2011

Mendaki Gunung Gedeh Kali Pertama



UNS IST OB DIE UNENDLICHKEIT
VOM GEWIRRE DES LEBENS UNS TRENNTE
         O…STILLE ANDABREIT
 weit und breit
 O….FRIEDE OHNE ENDE
L GRAHL


Lalu kesunyian yang mencekam meliputi kami, yang kemudian mendadak dipecahkan oleh gemeretaknya dahan-dahan pepohonan. Ada binatngyang menghindar, mungkin seekor celeng liar, karena hewan-hewan ini masih banyak terdapat di lereng-lereng G Gedeh ini atau seekor kijang yang terperanjat oleh kehadiran kami. Para pemburu pasti tidak akan menemukan hewan besar disini. Bertahun-tahun yang lalu ada badak di pegunungan ini, Harimau masih banyak di pegununga selatan mereka tidak datang di hutan-hutan G Gedeh. Kami hanya menggunakan senjata berburu kami esok harinya untuk menembak dara, merupakan tambahan yang enak untuk persediaan makanan kami, Ular didaratan Sukabumi boleh dibilang ada dimana-mana, saya malah pernah melihat seekor ular menggelosor memasuki ruang sidang Pengadilan (Landraad); sebilah mistar kemudian mengahiri hidupnya. Rupanya di lereng-lereng G Gedeh tidak ada ular, tetapi disini banyak sekali pacet yang sangat mengganggu, penghisap darah kecil, cacing kecil, coklat yang dapat menembus kaos kaki tebal yang melekatkan diri dimana saja dapat melekat, dimuka, ditangan…cacing ini menancapkan badannya yang sebesar jarum kedalam kulit dan sebentar kemudian menjadi gemuk dan bulat dan darah mengalir dari tempat cacing itu melekat. Kalau cepat-cepat ketahuan, cacing yang berlendir ini dengan serentak dapat dicabut. Beberapa tempat dihutan, dilambung G Gedeh ini yang menuju Sukabumi menjadi terkenal karena sangat banyak pacetnya. Kesunyian yang agung ini kadang-kadang mendadak dipecahkan oleh bunyi burung. Burung Bul-bul jawa tentunya yang keras-keras menyuarakan nyanyiannya. “Burung Sapu” katanya orang pribumi, ini adalah satu-satunya burung yang kami dengar suaranya malam itu, tetapi setiap kali mendengar suaranya kami berhenti untuk kami nikmati betul. Kesunyian makin terasa oleh kicau burung ini. Kuli-kuli berjalan rapat-rapat satu dibelakang yang lain. Mereka mendaki tanpa suara, didepan mereka berjalan seoran mandor yang membawa obor berlengas; kain dibasahi minyak tanah yang disumbatkan kebatang bamboo. Bajunya telah mereka tanggalkan, dadanya yang coklat dan kokoh oleh keringat. Kalau kami sekali-kali berhenti sebentar, setelah melewati suatu jarak yang curam, mereka dengan ter-engah-engah mengusap kering dadanya. Dalam daya tahan mereka tidak kalah dengan pemikul-pemikul bangsa nSwiss dan jelas mereka lebih penurut. Jika kami menyuruh mereka turun jurang untuk memetik sekuntum bunga atau menyuruh mereka memanjat pohon untuk memungut Anggerek yang luar biasa indahnya mereka akan lakukan apa yang disuruhkannya tanpa suatu kata. Dan waktu suatu kali kami bertanya; “kamu berani ?”, jawabnya ; “saya kan harus berani apa yang tuan perintahkan”. Tetapi tidak ada yang berani sendirian menyebal dari rombongannya, untuk itu mereka terlalu takut pada setan alasan yang justru pada bergentayangan dimalam hari. Pak Mandor dapat bercerita tentang kejadian-kejadian yang mengerikan,
Dari kejauhan lagi kami mendengar gemeresak, kali ini tidak dari bawah melainkan dari muka kami, ini bukan angin yang meniup puncak-puncak pepohonan, tetapi suara air terjun dari Cipelang, yang kami dekati kami berada diatas air terjun. Diatas kedalaman ini yang tebing kirinya bertumbuhan lebat tetapi yang kanan tegak lurus anjlok kebawah sedalam beberapa ratus meter, dan dari mana, melalui tebing yang curam, arus air yang lebar berbuih putih terjun sebagai penghubung antara dua jalan setapak mandadak putus, terbentang tiga batang bamboo yang kokoh, kalau diseluruh perjalanan ada tempat-tempat berbahaya atau sangat sulit dilalui, maka tempat inilah yang pertama, tetapi bagi meraka yang tidak terganggu oleh perasaan pusing, dia dengan aman dapat menengok kekanan dan kedalam jurang beberapa meter dibawahnya, dapat melihat tempat dimana air terjun meloncat keluar. Bulan dengan sangat mengagumkan menyinari lekukan sedalam beberapa ratus meter ini, didalam mana air terjun jatuh membuih. Sekarang kami menyuruh kuli-kuli menerangi jembatan bamboo, dan tanpa kesulitan kami mencapai tepi seberang. Masih tiga buah titian bamboo lagi yang menjembatani jurang-jurang yang lebih dangkal harus kita lewati, setelah itu dengan langkah-langkah yang ajeg kami lanjutkan perjalanan lewat lorong-lorong berbatu, yang menanjak berkelok-kelok menembus hutan, kami berjalan diatas salah satu punggung lereng G Gedeh sehingga selalu ada jurang dikiri kanan kami, tetapi jalan setapak ini cukup baik dan jika ada yang tergelincir tidak akan jatuh terlalu dalam, karena tebing-tebing ini bertumbuhan lebat sehingga mereka yang terjatuh akan tertahan oleh tetumbuhan yang sangat rapat. Sementara kami harus tetap waspada, terutama dititk titik dimana lorong menanjak dengan terjal dan pada langkah berikutnya harus mengangkat kaki setinggi mungkin untuk mandapatkan tempat berpijak, atau dimana ada batang pohon besar melintang, karena setelah di kampak hanya melukai kulitnya saja
Setelah berjalan selama setengah jam diatas pinggir kawah ini, lereng dikiri makin kurang curam an tapak-tapak kaki dari pengunjung sebelumnya, terlihat masuk kedalalm belukar. Jalan setapak makin buruk dan medannya lebih berat daripada disisi Sukabumi. Karena itu disini tidak ada rintisan jalan setapak. Kami betul-betul harus menerobos semak-semak, mendorong menyisihkan ranting-ranting, tersandung-sandung oleh akar dan tergelincir d batu-batu. Tetapi setelah turun lagi setengah jam, kami keluar hutan dan bagus. Ternyata ada papan penunjuk jalan, satu kekanan “Naar den Pangerango”, satu kekiri “Naar den Gedeh”, dijalan setapak yang telah kami lalui tidak ada penunjuk jalanan. Siapa pula yang akan dari Sindanglaya, lewat gunung Gedeh ke Sukabumi dan siapa pula yang sekarang akan mengunjungi pinggir kawah yang teratas? Papan yang menunjuk ke gunung Gedeh dipasang untuk mereka yang menginap di Sindanglaya, yang akan mengantar mereka lewat jalan yang cukup baik, menuju suatu tempat didasar kawah yang dapat didatangi, 300 meter lebih rendah dari tempat tanda itu. Mereka yang ingin menjalani perjalanan gunung ini, yang juga dapat dijalalani oleh wanita,iasanya berangkat dari Sindanglaya sore hari, kalau udara sudah agak sejuk, mendaki dimalam hari melalui jalan setapak yang cukup baik terpelihara, dengan sinar obor, menembus hutan sampai Kandang Badak, rumah kecil dari seng, yang berdiri sedikit dibawah tempat dimana jalan setapak kami bertemu dengan jalan ini. Dirumah ini mereka menginap. Pagi berikutnya mereka mendaki gunung Pangerango dan turun lagi ke Kandang Badak, untuk menginap lagi. Hari ketiga , pagi-pagi mereka kekawah gunung Gedeh, yang masih aktif, untuk kembali ke Sindanglaya sore harinya. Tetapi untuk perjalanan ini, yang dapat dilalui tanpa terlalu melelahkan, tidak banyak yang berani. Memang hawa panas di Indonesia ini membuat orang malas, lesu dan loyo. Tokh,..orang akan bertambah sehat dan kesehatannya akan dipertahankan jika mereka berjerih payah untuk menikmati segala keindahan yang dapat disajikan dengan mendaki gunung-gunung di Hindia yang mengagumkan itu.
Cibodas kebun pegunungan, merupakan bagian dari Kebun Raya di Bogor yang termasyhur itu, yang terletak pada ketinggian 1400m di lambung gunung Gedeh. Para botanisi dapat menemukan segala tumbuhan hias atau yang berguna dari seluruh dunia. Eucalyptus dari Australia disini berbunga di sebelah agave dari Amerika. Camellia dari Jepang menyebar keindahan bunganya disamping Treurwilg dari Holland.
Kebun pegunungan ini dilengkapi dengan lapangan-lapangan percobaan yang luas. didalam taman terdapat laboratorium. Dibelakang taman langsung tumbuh hutan rimba, yang baru kami tinggalkan itu. Yang letaknya paling dekat sering dikunjungi dan diselidiki oleh para ahli pengetahuan alam, yang disini diperbolehkan mengumpulkan benda-benda yang diperlukannya, yang tidak ternilai harganya.
Setelah Cibodas kami sampai lagi di kampung yang pertama. Suara kotekan yang keras sudah menyatakan dari jauh bahwa para wanita sedang menumbuk padinya kedalam lesung kayu. Hanya ada sedikit rumah-rumah disini. Penghuninya kebanyakan sedang bekerja disawah. Disamping jalan besar, yang dapat dilalui kendaraan, menuju ke Cibodas, terletak pertamanan yang bagus, Cipanas tempat peristirahatan dari Gouverneur Generaal. Villanya dibangun luas dan kokoh, tetapi tidak mengesankan agung sebaliknya pertamanannya kelihatan lebih bagus. Disana berkembang dan semerbak baunya kekayaan bungan dibawah pohon-pohon cypress, araucaria dari Australia dan lain-lain pohon conifer, dibawah pohon-pohon pakis, treurwilg, kastanye dan oak. Memberi kesan sepertinya pertamanan dari pangeran-pangeran di Perancis dan Riviera-Italia yang mampu mencampurkan keagungan yang muram dari barat-utara dengan kemewahan riang dari timur-selatan. Jalan besar dari Cipanas menuju Sindanglaya, terpelihara sangat baik dan meningatkan kepada bentuk-bentuk jalan pas pegunungan Alven di Swiss. Pohon-pohon yang tegap, rimbun bercermin di telaga Cisarua yang jernih. Para penggemar renang, yang di Hindia sangat kurang kesempatannya , dapat dengan sesuka hatinya melepas kesukaannya didalam airnya yang jernih itu. Merupakan kenikmatan yang tidak dapat dibandingkan untuk setelah satu perjalanan yang panas, memceburkan diri kedalan air dalam dan dingin, suatu kenikmatan yang tidak sering didapat di Hindia. Sekitar Sindanglaya hamper semua lahan telah dimanfaatkan. Jurang-jurang sampai sudut-sudut yang tersempit pun telah diubah menjadi sawah, nyaris tidak ada tempat yang tidak dimanfaatkan. Tanaman padi yang telah masak, oleh petaninya diikat menjadi satu, diikat lagi pada ujung-ujung pikulan dari bamboo dan berlari-lari kecil, dipikul turun ke lembah, dimana padinya disimpan didalam lunbung-lumbung kecil beratapkan atap-atap yang dipasang miring.


Bersambung ke pendakian selanjutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan kesan dan pesan andi disini;