Banyak tuduhan bahwa Penjajah Belanda menghancurkan sejarah dan budaya sunda, ternyata orang Belanda membantah itu dan menunjukan fakta sebaliknya
C. Albers seorang peneliti Belanda yang bermukim dan mempelajari sastra sunda di Cianjur pada tahun 1884 menyebutkan bahwa sejak hubungan Belanda dengan orang sunda terutama sejak penguasaannya justru bahasa sunda sudah rusak akibat pengaruh bahasa jawa mataram dan bahasa melayu. Hingga kemudian Andries De Wilde pemilik distrik Gunung Parang pada tahun 1815 mulai kembali membiasakan kembali bahasa sunda yang dibantu kokolot yang masih konsisten berbahasa Sunda. Kemudian Wilde juga mempublikasikan beberapa buku berbahasa sunda dan juga kamus bahasa sunda, tanpa dia mungkin bahasa sunda akan lebih cepat punah karena dengan pengaruh jawa yang kuat hampir tidak ada yang mengetahui bahasa sunda kecuali sebagian orang gunung. Faktanya orang pedesaan sunda lebih suka berbahasa jawa dan orang Eropa berbahasa melayu sebagai pengantar, karena berbahasa sunda gunung dianggap mencemarkan. Sejak 1862 semangat berbahasa sunda kian baik terutama diantara para menak, pada tahun tersebut tidak kurang 8 karya sunda yang diterbitkan atas nama pemerintah dan disebarluaskan. Kemudian ditunjuk Mr Koorders untuk melakukan kegiatan pendidikan bahasa sunda, dan dia mendirikan sekolah berbahasa sunda dimana dia menjadi direkturnya. Pemerintah juga membuat keputusan untuk mendirikan sekolah pelatihan guru bahasa sunda dan merilis kamus pertama versi pemerintah. Kamus tersebut adalah Sundaneoscb-Eagelsch, dibuat oleh Mr. Jonathan Rigg dan diterbitkan oleh Batavian Society of Arts and Sciences.
Pewartaan injil juga membantu peningkatan bahasa sunda mengingat prakteknya dilakukan dalam bahasa sunda. Pemerintah terus mencetak karya-karya yang kurang lebih layak untuk orang Sunda, di antaranya tiga terjemahan yang disebutkan secara khusus oleh Raden Karta Winata, sebagai: Gesokiedenis dari Rosinson Crusoe; sejarah negara-negara Sunda dan deskripsi Jawa dan penduduknya. Setelah kematian Mr. Koorders, Pemerintah menugaskan Mr. Oosting, pengawas Administrasi Dalam Negeri, dengan praktik bahasa Sunda, untuk kemudian menghasilkan Kamus Sunda-Belanda dan menulis tata bahasa sunda. Pada tahun 1873 Tuan S. Coolsma juga mengeluarkan panduan berbahasa sunda sebagai lanjutan tulisan tata bahasa sunda versi Oosting. Pada tahun 1874 Mr. Grashuis menerbitkan Penerjemah Sundanya, (sedikit karya yang bernilai) dan buku bacaan Sundanya, karena terdiri dari kumpulan penggalan-penggalan tulisan Sunda yang dicetak dengan huruf sunda atau hanya ada dalam tulisan tangan. Dalam 1875 Dictionary of the Lords Geerdink muncul. Kamus ini untuk pertama kalinya menunjukkan betapa besar harta karun kata-kata yang dimiliki bahasa Sunda. Ini adalah Kamus keren Sunda-Belanda pertama yang diterbitkan, dan memberikan kontribusi penting bagi pengetahuan bahasa Sunda.
Pada tahun 1879 diterbitkan lagi Kamus melalui 3 komposisi Mr Oosting, karya ini telah disambut dengan antisipasi besar oleh para siswa bahasa. Oosting juga terus melakukan tugasnya menjadi delegasi yang memperkenalkan bahasa yang dulu disebut bahasa gunung tersebut. Sebagai pegawai negeri, ia memiliki kuda pos gratis dan tunjangan penginapan jika ia menganggap perlu untuk melakukan perjalanan demi kepentingan studi bahasanya. Ke mana pun dia pergi, dia menemukan pasanggrahan dan kepala serta orang-orang yang siap pakai. Karena itu, ia dapat mendengarkan orang Sunda di mana-mana, membandingkan bahasa kampung-kampung terpencil dengan bahasa yang digunakan di pusat-pusat peradaban Sunda. Beliaulah yang mengkategorikan ucapan tiga macam a dalam basa sunda, kemudian anotasi eu, dan e pêpêt. Banyak buku buku A. W. Sijthof di Leiden yang merupakan kamus bahasa Sunda-Belanda yang diedit oleh Mr. S. Coolsma, hingga terjemahan Perjanjian Baru yang mungkin tidak sepenuhnya sempurna, namun sangat baik ke dalam bahasa Sunda. Dengan kamus itu, seseorang dapat membaca tidak kurang dari 33 karya cetak dan 68 manuskrip sunda.
Kadang tanpa pengetahuan lengkap kita menggeneralisasikan penjajah dalam bingkai yang buruk, termasuk soal sejarah yang dipalsukan penjajah, padahal jika ditelaah mungkin banyak relasi tertentu yang sifatnya ilmiah, meskipun tidak seluruhnya objektif. Dengan menganalisa mereka secara utuh kita bisa mendapat sebagian manfaat, termasuk ketekunan mereka mengumpulkan transkrip dan kisah rakyat.
Foto: koleksina Mr Zowie Agus Dzulqarnaen
#PustakaKipahare

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tinggalkan kesan dan pesan andi disini;