Senin, 14 Mei 2012

Pendakian Gunung SALAK/SALAKA/PERAK


 p e n d a k i a n
GUNUNG SALAK/SALAKA/PERAK

Waktu kami, Bandung, pagi-pagi bangun hujan turun; kami pergi ke kantor hujan turun, kami pulang untuk makan siang hujan turun, kami ke kantor lagi atau ke tempat tidur untuk tidur siang hujan turun, kami minum the sore hari hujan turun dan waktu malam hari sekitar jam delapan saya mau jalan-jalan hujan masih turun juga.

Sekarang saya sudah mual dengan hujan ini dan saya loncat di belakang kemudi mobil dan pergi ke Buitenzorg (Bogor) dengan harapan , karena dimana-mana hujan, barangkali di Bogor, yang biasanya selalu hujan, kali ini terang.

Dan untuk menantang segala konsekuensi dari pikiran saya yang optimistik itu, saya tentukan untuk malam itu juga mendaki gunung Salak yang menurut tradisi, yang lebih tua daripada penguasa kita di Jawa sepanjang tahun turun hujan lebat siang maupun malam.

Perasaan optimistik saya ini dikuatkan oleh suatu kepercayaan seorang awam, meskipun berkali-kali saya dikecewakan, tetapi tetap saya tidak bisa melepaskannya; saya percaya sungguh-sungguh akan kekuatan bulan purnama yang bisa bulan purnama.

Jadi sabtu malam, jam delapan, menurut keinginan sekonyong-konyong, saya mengenakan pakaian pegunungan saya, memasukan roti, mentega, daging ke dalam tromol makanan, menyuruh mengisi beberapa botol dengan air jeruk dan berangkat didalam hujan lebat. Jalan ke Cimahi penuh dengan sopir-sopir yang mengendarai mobilnya terlalu cepat, tanpa memadamkan lampunya, dan dijalan yang salah, atau yang memang tidak mau dijalur yang betul, yang karena Wakil-wakil Rakyat Provinsi Jawa-Barat sedang mempelajari kesuka-relaan polisi lalu-lintas di Nederland, mereka sekarang dengan rasa terima-kasih, masih bisa bebas bertingkah di jalan-jalan. Antara Cimahi dan Padalarang masih juga harus awas-awas di jalan yang telalu sempit, tetapi di gunung Masigit keadaan menjadi lebih baik.

Curahan air hujan makin menipis, langit makin terang, bulan makin nyala di belakang selubung awan yang makin tipis dan waktu kami sampai ditempat tertinggi dari gunung Masigit, yang sekarang keadaannya makin baik untuk dilalui kendaraan dan mendapatkan pemandangan ke arah barat, waktu itu langit cerah dan di langit yang bersih bertaburan bintang, menjulang dengan jelasnya gunung Gedeh-Pangerango.

Sekarang sepi dijalanan dan satu-satunya rintangan yang ada dan harus dilalui dengan bijak adalah kuda-kuda yang berkeliaran lepas.

Cianjur masih ramai di gedung bioskop yang terang, tetapi jalan ke Sindanglaya sepi sekali.

Dilambung gunung Gedeh berkilauan lampu-lampu dari perkebunan the “Gedeh” Bulan sekarang menggantung bebas di langit yang bersih tanpa awan dan kilaunya menyinari hutan rimba di lereng=lereng gunung dan tebing kawah gunung Gedeh dengan jelas.

Jalannya cepat menajak dan sawah-sawah yang berkilauan di bawah sinar rembulan surut dibelakang kami, desa-desa pada tidur pulas, tersembunyi oleh rumpun-rumpun bambu. Istana Gouverneur Generaal sunyi, hotel Sindanglaya gelap. Mobil kami mengambil tanjakan Puncak dengan mudah setelah jalan lamanya dipindah arahnya.

Kami melintas “Puncak-Pass” pada ketinggian 1480m, dengan perasaan ingin tahu apa yang bisa diperlihatkan oleh gunung Salak.

Dan waktu kami menuruni jalan putih berkelok-kelok, kami dapat melihat dengan jelas dataran Bogor.

Jalan putih itu melingkar-lingkar ke bawah; kelompok-kelompok pepohonan jelas terlihat; tera-teras sawah meloncat-loncat ke dataran rendah; di desa-desa jelas terlihat masing-masing rumah dibawah sinar bulan penuh; dan disana menjulang terang dan bebas dari awan, gunung Salak.

Salak I dan Salak II menonjol, sampai dipuncak-puncaknya yang lancip bebas dari awan dan lekukan diantara puncak-puncak tergambar tajam dilangit malam yang pucat.

Kami sampai di Bogor jam setengan dua belas. Liwat Hotel Bellevue ada jalan kendaraan menuju ke perkebunan the Ciapus, diatas mana ada desa Warongloa, dimana kami akan menyewa kuli-kuli untuk perjalanan kami ke gunung Salak.

Di emplasemen paberik jalannya lurus, tetapi disana ada jalan yang menyimpang ke kanan.

Sudah barang tentu saya melaju lurus, dan tentunya ini jalan yang salah. Kami melewati sebuah desa, dan sebuah desa lagi, lalu kami sampai di kebun-kebun the.

Jalannya menjadi jalan berumput sempit, dengan banyak bahaya slip dan tidak memungkinkan memutar balik.

Jadi tidak ada pilihan lain meskipun kami tahu bahwa kami salah jalan, yang menjadi semakin nyata waktu jalan berumput sempit yang licin ini, membelok ke selatan dan lurus menuju ke Salak I, sedangkan kami merencanankan untuk mendaki ke Salak II, yang letaknya diutaranya.

Akhirnya kami sampai di sebuah los pemetik, yang memungkinkan kami untuk membalik.
Kami kembali ke paberik dimana penjaga malam menunjukan jalan yang harus kami ambil.
Sedikit lewat paberik akan ada jembatan dan warung yang ada di dekat itu disebut Warongloa.

Dengan ketukan-ketukan yang keras dan kata-kata imbauan yang lembut kami bangunkan pemilik warung, yang bersedia pergi dengan kami ke puncak gunung Salak. Tetapi dia mengajukan syarat, Dia menjabat mandor di perkebunan the ini dan besok pagi jam tujuh harus lapor. Kalau dia tidak hadir tentunya akan dipecat.

Syarat ini tidak bisa dituruti, karena Warongloa letaknya setinggi 600m dan puncak gunung Salak 2080m, dan waktu sudah jam setengah satu jadi oleh sang mandor ini kami hanya diberi waktu enam jam untuk mendaki 1500m dan turun kembali 1500m, menunjukan bahwa dia sebetulnya tidak tahu keadaan. Sebab itu dibangunkan kembali penduduk desa yang lain.

Orang ini lebih pesimis lagi mengenai lamanya waktu pendakian diapun mengajukan persyaratannya.
Upah lima gulden, dengan panjar satu gulden untuk membeli nasi. Berangkat jam enam pagi, karena mendaki di malam hari di dalam hutan sangat berbahaya.

Sampai di puncak jam enam sore, jadi mendaki sepuluh jam bermalam di puncak, turun hari senin.
Usul persyaratan yang dikemukakan dengan jelas ini tentunya kami tolak.

Sementara itu sopir saya sudah mendapatkan seorang kuli angkut, yang belum pernah naik gunung Salak, tetapi yang badannya kelihatan kuat dan ulet, dia direkrut dengan upah satu gulden, ditambah emolumen dan gratifikasi dan supaya perjanjian ini disepakati dia cepat-cepat dimasukan ke dalam mobil.
Kami terus ke desa yang terakhir dimana kani temukan seorang yang bersedia dan mampu untuk menjadi pemandu kami, kami bebankan kedua jas hujan, tromol makanan dan botol-botol minuman kepada kedua kuli itu dan mulai berjalan.

Sopir saya yang rupanya kenal dengan kuli-kuli itu, disamping dia juga pengenal muka yang baik, memperihatinkan jiwa saya, dan juga pekerjaannya, berbisik mendesak saya untuk membawa revolver saya, dan dia sedih waktu saya tidak menuruti nasehatnya, malah saya menyuruh si pemandu membawa parang saya, hal mana oleh sopir saya dianggap suatu keacuhan yang tidak beertanggung jawab.

Malam bulan purnama ini bagus sekali dan di kebun-kebun the yang terbuka ini kami tidak perlu menggunakan lampu senter kami.
Rasanya enak sekali berjalan dimalam yang sepi suci ini.
Bulan purnama berkilau dilangit yang tanpa awan, hanya bintang-bintang yang paling kuat saja yang dapat dilihat.
Tidak ada angin dan disinar terang ini semak-semak the yang hijau segar berdiri berbaris.
Dimuka kami menjulang gunung Salak yang gundul, dengan punggung-punggungnya yang hijau dan kukuh.

Tanpa bicara kami berjalan setengah jam kami memasuki rimba, tetumbuhan alang-alang yang liar setinggi beberapa meter dan belukar yang keras pendek. Dalam sekejap kami sudah basah kuyup.

Si pemandu berjalan dimuka, dan mengherankan bagaimana dia dapat menemukan arahnya didalam kelebatan tetumbuhan liar ini, lalu saya dibelakangnya, disusul teman perjalanan saya Wentink, masing-masing membawa lampu senter, dan dibelakang kami kuli yang satunya. Tetumbuhan liar ini begitu lebat dan tinggi, sampai cahaya bulan sia-sia disini. Setelah dua-puluh menit kami sampai di sebuah parit gunung yang dangkal, yang harus kami sebrangi.

Dari kebun-kebun the kami sudah dapat meniti punggung gunung yang harus kami daki untuk dapat mencapai puncak dan kami telah melihat bahwa untuk itu diperlukan pemanjatan panjang tanpa terputus.
Dan memang begitulah nyatanya !
Pendakian Salak II dari arah sini merupakan olah-raga murni, olah-raga yang bagus.

Mendaki dari 600m sampai ke 2100m memerlukan paling sedikit lima jam. Ada jalan setapak, tetapi sama sekali tidak terpelihara, jalan ini sangat sempit, yang sepanjang jarak-jarak yang panjang tertutup rapat oleh tetumbuhan, dan terhalang oleh batang-batang pohon besar yang melintang yang harus dilewati dengan merangkak diatas atau dibawahnya, ditumbuhi lebat oleh tumbuh-tumbuhan yang penuh duri-duri panjang dan tajam, dan dihuni oleh banyak pacet.

Darah mengalir dari kaki-kaki para kuli, pacet ini juga menyerang kami, lutut dan lengan kami yang terbuka, leher dan punggung kami.
Jalan setapak menanjak sangat terjal, tanpa ada bagian yang rata sedikitpun. Hanya didua tempat dapat sejenak dilihat pemandangan ke ngarai dan ke puncak-puncak gunung Salak yang lebih rendah.
Hutannya lebat dan hampir di semua batang pohon menempel tumbuhan anggrek. Bulan hanya terlihat samar-samar melalui dedaunan yang lebat ini.
Dua ekor burung, yang rupanya tidak dapat tidur dengan sinar bulan yang terang ini, tetapi sadar bahwa percuma saja untuk berkicau di tengah malam, mulai bicara satu dengan yang lain dengan kata-kata pendek, sesuatu dialog yang ngawur, yang sebetulnya hanya karena keduanya merasa bosan saja.

Menjelang jam empat langit mulai ditutupi oleh awan-awan putih tipis, dan menjelang jam setengah enam pelan-pelan hari mulai terang.
Liwat celah-celah pepohonan kami dapat melihat cahaya sinar matahari diatas hutan yang menutupi bukit-bukit disebelah timur gunung Salak dan waktu jam enam kami sampai dipuncak, hari sudah terang.
Ditengah-tengah semak belukar yang lebat dan tinggi, yang hampir menghalangi semua pemandangan dan hanya ke utara dapat dilihat pemandanganke ngarai yang monoton, berdiri tonggak trianggulasi.

Jadi tidak banyak yang dapat dinikmati dari pendakian Salak II lewat sisi utara, kecuali hanya berolah-raga, dan tidak mengherankan kalau Junghuhn tidak banyak cerita tentang gunung Salak kecuali tentang erupsinya di tahun 1699.

Menjelang jam sepuluh matahari menghilang, mulai hujan gerimis dan waktu kami mulai turun, hujan lebat turun.

Dari jauh datang menggulung mendung, cepat sekali datangnya dan mendadak ada kilat petir menyambar, yang segera disusul dengan ledakan gemuruh, menggema di jurang-jurang yang dalam.

Kemudian kilat-kilat petir dan ledakan-ledakan guntur makin banyak dan kemudian hujan tercurah dengan lebatnya.
Jalan setapaknya sekarang berubah nmenjadi parit gunung. Hujan lebat dan guntur yang menggelegar tetap berlangsung sampai kami kembali ke mobil kami pada jam dua.

Setelah itu cuaca terang sampai di Cimahi dan jam enam malam, dua puluh jam setelah keberangkatan kami, kami kembali ke Bandung yang masih juga disiram hujan lebat.



***********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan kesan dan pesan andi disini;