p e n d a k i a n
GUNUNG
SALAK/SALAKA/PERAK
Waktu
kami, Bandung, pagi-pagi bangun hujan turun; kami pergi ke kantor
hujan turun, kami pulang untuk makan siang hujan turun, kami ke
kantor lagi atau ke tempat tidur untuk tidur siang hujan turun, kami
minum the sore hari hujan turun dan waktu malam hari sekitar jam
delapan saya mau jalan-jalan hujan masih turun juga.
Sekarang
saya sudah mual dengan hujan ini dan saya loncat di belakang kemudi
mobil dan pergi ke Buitenzorg (Bogor) dengan harapan , karena
dimana-mana hujan, barangkali di Bogor, yang biasanya selalu hujan,
kali ini terang.
Dan
untuk menantang segala konsekuensi dari pikiran saya yang optimistik
itu, saya tentukan untuk malam itu juga mendaki gunung Salak yang
menurut tradisi, yang lebih tua daripada penguasa kita di Jawa
sepanjang tahun turun hujan lebat siang maupun malam.
Perasaan
optimistik saya ini dikuatkan oleh suatu kepercayaan seorang awam,
meskipun berkali-kali saya dikecewakan, tetapi tetap saya tidak bisa
melepaskannya; saya percaya sungguh-sungguh akan kekuatan bulan
purnama yang bisa bulan purnama.
Jadi
sabtu malam, jam delapan, menurut keinginan sekonyong-konyong, saya
mengenakan pakaian pegunungan saya, memasukan roti, mentega, daging
ke dalam tromol makanan, menyuruh mengisi beberapa botol dengan air
jeruk dan berangkat didalam hujan lebat. Jalan ke Cimahi penuh dengan
sopir-sopir yang mengendarai mobilnya terlalu cepat, tanpa memadamkan
lampunya, dan dijalan yang salah, atau yang memang tidak mau dijalur
yang betul, yang karena Wakil-wakil Rakyat Provinsi Jawa-Barat sedang
mempelajari kesuka-relaan polisi lalu-lintas di Nederland, mereka
sekarang dengan rasa terima-kasih, masih bisa bebas bertingkah di
jalan-jalan. Antara Cimahi dan Padalarang masih juga harus awas-awas
di jalan yang telalu sempit, tetapi di gunung Masigit keadaan menjadi
lebih baik.
Curahan
air hujan makin menipis, langit makin terang, bulan makin nyala di
belakang selubung awan yang makin tipis dan waktu kami sampai
ditempat tertinggi dari gunung Masigit, yang sekarang keadaannya
makin baik untuk dilalui kendaraan dan mendapatkan pemandangan ke
arah barat, waktu itu langit cerah dan di langit yang bersih
bertaburan bintang, menjulang dengan jelasnya gunung
Gedeh-Pangerango.
Sekarang
sepi dijalanan dan satu-satunya rintangan yang ada dan harus dilalui
dengan bijak adalah kuda-kuda yang berkeliaran lepas.
Cianjur
masih ramai di gedung bioskop yang terang, tetapi jalan ke
Sindanglaya sepi sekali.
Dilambung
gunung Gedeh berkilauan lampu-lampu dari perkebunan the “Gedeh”
Bulan sekarang menggantung bebas di langit yang bersih tanpa awan dan
kilaunya menyinari hutan rimba di lereng=lereng gunung dan tebing
kawah gunung Gedeh dengan jelas.
Jalannya
cepat menajak dan sawah-sawah yang berkilauan di bawah sinar rembulan
surut dibelakang kami, desa-desa pada tidur pulas, tersembunyi oleh
rumpun-rumpun bambu. Istana Gouverneur Generaal sunyi, hotel
Sindanglaya gelap. Mobil kami mengambil tanjakan Puncak dengan mudah
setelah jalan lamanya dipindah arahnya.
Kami
melintas “Puncak-Pass” pada ketinggian 1480m, dengan perasaan
ingin tahu apa yang bisa diperlihatkan oleh gunung Salak.
Dan
waktu kami menuruni jalan putih berkelok-kelok, kami dapat melihat
dengan jelas dataran Bogor.
Jalan
putih itu melingkar-lingkar ke bawah; kelompok-kelompok pepohonan
jelas terlihat; tera-teras sawah meloncat-loncat ke dataran rendah;
di desa-desa jelas terlihat masing-masing rumah dibawah sinar bulan
penuh; dan disana menjulang terang dan bebas dari awan, gunung Salak.
Salak
I dan Salak II menonjol, sampai dipuncak-puncaknya yang lancip bebas
dari awan dan lekukan diantara puncak-puncak tergambar tajam dilangit
malam yang pucat.
Kami
sampai di Bogor jam setengan dua belas. Liwat Hotel Bellevue ada
jalan kendaraan menuju ke perkebunan the Ciapus, diatas mana ada desa
Warongloa, dimana kami akan menyewa kuli-kuli untuk perjalanan kami
ke gunung Salak.
Di
emplasemen paberik jalannya lurus, tetapi disana ada jalan yang
menyimpang ke kanan.
Sudah
barang tentu saya melaju lurus, dan tentunya ini jalan yang salah.
Kami melewati sebuah desa, dan sebuah desa lagi, lalu kami sampai di
kebun-kebun the.
Jalannya
menjadi jalan berumput sempit, dengan banyak bahaya slip dan tidak
memungkinkan memutar balik.
Jadi
tidak ada pilihan lain meskipun kami tahu bahwa kami salah jalan,
yang menjadi semakin nyata waktu jalan berumput sempit yang licin
ini, membelok ke selatan dan lurus menuju ke Salak I, sedangkan kami
merencanankan untuk mendaki ke Salak II, yang letaknya diutaranya.
Akhirnya
kami sampai di sebuah los pemetik, yang memungkinkan kami untuk
membalik.
Kami
kembali ke paberik dimana penjaga malam menunjukan jalan yang harus
kami ambil.
Sedikit
lewat paberik akan ada jembatan dan warung yang ada di dekat itu
disebut Warongloa.
Dengan
ketukan-ketukan yang keras dan kata-kata imbauan yang lembut kami
bangunkan pemilik warung, yang bersedia pergi dengan kami ke puncak
gunung Salak. Tetapi dia mengajukan syarat, Dia menjabat mandor di
perkebunan the ini dan besok pagi jam tujuh harus lapor. Kalau dia
tidak hadir tentunya akan dipecat.
Syarat
ini tidak bisa dituruti, karena Warongloa letaknya setinggi 600m dan
puncak gunung Salak 2080m, dan waktu sudah jam setengah satu jadi
oleh sang mandor ini kami hanya diberi waktu enam jam untuk mendaki
1500m dan turun kembali 1500m, menunjukan bahwa dia sebetulnya tidak
tahu keadaan. Sebab itu dibangunkan kembali penduduk desa yang lain.
Orang
ini lebih pesimis lagi mengenai lamanya waktu pendakian diapun
mengajukan persyaratannya.
Upah
lima gulden, dengan panjar satu gulden untuk membeli nasi. Berangkat
jam enam pagi, karena mendaki di malam hari di dalam hutan sangat
berbahaya.
Sampai
di puncak jam enam sore, jadi mendaki sepuluh jam bermalam di puncak,
turun hari senin.
Usul
persyaratan yang dikemukakan dengan jelas ini tentunya kami tolak.
Sementara
itu sopir saya sudah mendapatkan seorang kuli angkut, yang belum
pernah naik gunung Salak, tetapi yang badannya kelihatan kuat dan
ulet, dia direkrut dengan upah satu gulden, ditambah emolumen dan
gratifikasi dan supaya perjanjian ini disepakati dia cepat-cepat
dimasukan ke dalam mobil.
Kami
terus ke desa yang terakhir dimana kani temukan seorang yang bersedia
dan mampu untuk menjadi pemandu kami, kami bebankan kedua jas hujan,
tromol makanan dan botol-botol minuman kepada kedua kuli itu dan
mulai berjalan.
Sopir
saya yang rupanya kenal dengan kuli-kuli itu, disamping dia juga
pengenal muka yang baik, memperihatinkan jiwa saya, dan juga
pekerjaannya, berbisik mendesak saya untuk membawa revolver saya,
dan dia sedih waktu saya tidak
menuruti nasehatnya, malah saya menyuruh si pemandu membawa parang
saya, hal mana oleh sopir saya dianggap suatu keacuhan yang tidak
beertanggung jawab.
Malam
bulan purnama ini bagus sekali dan di kebun-kebun the yang terbuka
ini kami tidak perlu menggunakan lampu senter kami.
Rasanya
enak sekali berjalan dimalam yang sepi suci ini.
Bulan
purnama berkilau dilangit yang tanpa awan, hanya bintang-bintang
yang paling kuat saja yang dapat dilihat.
Tidak
ada angin dan disinar terang ini semak-semak the yang hijau segar
berdiri berbaris.
Dimuka
kami menjulang gunung Salak yang gundul, dengan punggung-punggungnya
yang hijau dan kukuh.
Tanpa
bicara kami berjalan setengah jam kami memasuki rimba, tetumbuhan
alang-alang yang liar setinggi beberapa meter dan belukar yang keras
pendek. Dalam sekejap kami sudah basah kuyup.
Si
pemandu berjalan dimuka, dan mengherankan bagaimana dia dapat
menemukan arahnya didalam kelebatan tetumbuhan liar ini, lalu saya
dibelakangnya, disusul teman perjalanan saya Wentink, masing-masing
membawa lampu senter, dan dibelakang kami kuli yang satunya.
Tetumbuhan liar ini begitu lebat dan tinggi, sampai cahaya bulan
sia-sia disini. Setelah dua-puluh menit kami sampai di sebuah parit
gunung yang dangkal, yang harus kami sebrangi.
Dari
kebun-kebun the kami sudah dapat meniti punggung gunung yang harus
kami daki untuk dapat mencapai puncak dan kami telah melihat bahwa
untuk itu diperlukan pemanjatan panjang tanpa terputus.
Dan
memang begitulah nyatanya !
Pendakian
Salak II dari arah sini merupakan olah-raga murni, olah-raga yang
bagus.
Mendaki
dari 600m sampai ke 2100m memerlukan paling sedikit lima jam. Ada
jalan setapak, tetapi sama sekali tidak terpelihara, jalan ini sangat
sempit, yang sepanjang jarak-jarak yang panjang tertutup rapat oleh
tetumbuhan, dan terhalang oleh batang-batang pohon besar yang
melintang yang harus dilewati dengan merangkak diatas atau
dibawahnya, ditumbuhi lebat oleh tumbuh-tumbuhan yang penuh duri-duri
panjang dan tajam, dan dihuni oleh banyak pacet.
Darah
mengalir dari kaki-kaki para kuli, pacet ini juga menyerang kami,
lutut dan lengan kami yang terbuka, leher dan punggung kami.
Jalan
setapak menanjak sangat terjal, tanpa ada bagian yang rata
sedikitpun. Hanya didua tempat dapat sejenak dilihat pemandangan ke
ngarai dan ke puncak-puncak gunung Salak yang lebih rendah.
Hutannya
lebat dan hampir di semua batang pohon menempel tumbuhan anggrek.
Bulan hanya terlihat samar-samar melalui dedaunan yang lebat ini.
Dua
ekor burung, yang rupanya tidak dapat tidur dengan sinar bulan yang
terang ini, tetapi sadar bahwa percuma saja untuk berkicau di tengah
malam, mulai bicara satu dengan yang lain dengan kata-kata pendek,
sesuatu dialog yang ngawur, yang sebetulnya hanya karena keduanya
merasa bosan saja.
Menjelang
jam empat langit mulai ditutupi oleh awan-awan putih tipis, dan
menjelang jam setengah enam pelan-pelan hari mulai terang.
Liwat
celah-celah pepohonan kami dapat melihat cahaya sinar matahari diatas
hutan yang menutupi bukit-bukit disebelah timur gunung Salak dan
waktu jam enam kami sampai dipuncak, hari sudah terang.
Ditengah-tengah
semak belukar yang lebat dan tinggi, yang hampir menghalangi semua
pemandangan dan hanya ke utara dapat dilihat pemandanganke ngarai
yang monoton, berdiri tonggak trianggulasi.
Jadi
tidak banyak yang dapat dinikmati dari pendakian Salak II lewat sisi
utara, kecuali hanya berolah-raga, dan tidak mengherankan kalau
Junghuhn tidak banyak cerita tentang gunung Salak kecuali tentang
erupsinya di tahun 1699.
Menjelang
jam sepuluh matahari menghilang, mulai hujan gerimis dan waktu kami
mulai turun, hujan lebat turun.
Dari
jauh datang menggulung mendung, cepat sekali datangnya dan mendadak
ada kilat petir menyambar, yang segera disusul dengan ledakan
gemuruh, menggema di jurang-jurang yang dalam.
Kemudian
kilat-kilat petir dan ledakan-ledakan guntur makin banyak dan
kemudian hujan tercurah dengan lebatnya.
Jalan
setapaknya sekarang berubah nmenjadi parit gunung. Hujan lebat dan
guntur yang menggelegar tetap berlangsung sampai kami kembali ke
mobil kami pada jam dua.
Setelah
itu cuaca terang sampai di Cimahi dan jam enam malam, dua puluh jam
setelah keberangkatan kami, kami kembali ke Bandung yang masih juga
disiram hujan lebat.
***********

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tinggalkan kesan dan pesan andi disini;